Kini Aku Temukan (Cerita Pendek)

Karya : Kuro


Aku adalah yang setia pada jujur, yang jujur pada setia, yang sabar pada setia, yang sabar pada jujur. Semua berawal dari dia yang tinggalkan jejak kaki namun bayangnya telah pergi. Ikuti tuannya yang beranjak pergi dari sesuatu yang lama. Aku, setia, di kubur dalam dimensi tak berujung. Ketika aku, setia, temukan jalan keluar, selalu saja timbunan tanah kembali terjun dari atas. Setia, tertimbunlah kembali. Aku, jujur, perasaan salah atas dosa yang menyerap di badan buat hati dan pikiran tak tenang. Segala upaya ku lakukan. Jalan akhir pun hanya satu, serahkan diri pada-Nya. Aku, sabar, tak ada batas sampai kapan hati terus berpacu dalam amarah tak berujung. Kesalahan pada diri sendiri dan kesalahan dari diri orang lain seperti membuat aliansi. Bergabung menjadi satu, merenggut batas akhir dari emosi yang katanya tak berujung. Lantas, akhirnya hanya menyisakan perasaan yang terbelenggu dalam gelap hati.
Entah kapan aku mulai mengerti akan yang namanya setia, jujur, sabar. Ketika pertama aku melihat dunia yang fana ini, yang ku tahu hanya menangis sekencang mungkin. Hal-hal kecil dari ayah dan bunda terpatri dalam segala aktifitasku. Aku setia pada doa. Ketika makan aku berdoa. Usia boleh bertambah, tapi kesetiaan akan doa tetap berjalan sebagaimana mestinya. Hal kecil. Aku sudah belajar setia ternyata sejak kecil. Sadarlah otak ini akan kenangan. Yah, aku setia lagi. Ingat, aku itu setia. Terhadap kenangan saja aku setia. Itulah aku, setia.
Jujur, hmm. Bagaimana menceritakan si jujur ini. Oh aku saja, aku itu jujur. Ingat pada kenangan, aku jujur kan. Ingat pada doa, aku jujur kan. Itu segelintir contoh kecil. Ketika si jujur pergi, maka rusaklah jalan yang bersih nan suci. Setia ikut bersama jujur. Perkataanmu bisa saja kau langgar, si jujur tak masalah. Dia hanya tinggal pergi. Jika memang benar-benar si jujur marah, dia bisa ajak pergi si aku yang lain. Si setia. Benar-benar ruwet kan? Itulah hidup. Si aku, jujur dan si aku, setia beda kata beda arti, namun terkait.
Aku adalah sabar. Si sabar. Emosi makhluk penghuni dunia yang fana ini begitu bermacam-macam. Ada yang bisa menahanku, ada juga yang tidak. Terserah pada bagaimana memperlakukanku. Kau tau kan, aku ini adalah si sabar. Aku hanya bisa pasrah bagaimana mereka mempermainkan perasaan serta pikiran. Aku dikendalikan bukan dikekang. Aku si sabar, terserah padamu aku hanya bergantung padamu.
Aku membuka pada hari ini. Syukurlah, tuhan berikan aku hidup. Aku menuju ka arah cermin. Lingkar hitam pada kantong mataku terlihat ketara sekali yang bepadu dengan kulit kuning langsatku. Aku memegang bagian kepala. Mengusap-ngusap tanpa halangan. Wah, ternyata seru. Tapi tampak begitu kosong. Ini gara-gara si kanker. Hey, aku tak boleh menyalahkannya. Ini semua salahku, aku yang mengundang kanker paru-paru ini datang. Seandainya aku tetap setia padanya dan jujur padanya serta sabar dalam kegiatan berhenti mengepulkan asap, aku tak akan sehancur ini. Tak akan.
Dimulai 3 tahun yang lalu. Aku Tian, seorang lelaki pelajar. Tak ada yang menyenangkan dalam hidupku. Semua terasa hambar sampai suatu hari aku menjalin kasih dengan seorang wanita yang suka menghirup dan mengepulkan asap. Namanya Yani, dia begitu cantik dengan rambut di kuncir kuda. Kebiasaan merokok tak bisa hilang begitu saja darinya. Hingga suatu hari aku mengalami masalah keluarga. Ayah dan ibu bercerai. Aku frustasi. Hingga suatu saat Yani sodorkan sebatang rokok untukku. Tanpa pikir panjang aku nyalakan dan hirup dengan kuat. Rasanya sesak, tapi aku seperti ingin mengulang. Aku hirup kembali, kuat-kuat.
Aku mulai menjadi seseorang yang istilahnya membuat onar. Bersama Yani aku mengalami hal-hal yang menyenangkan, tentu saja itu mengganggu kehidupan orang-orang. Aku mulai tak jujur, aku sering mencuri. Kesabaranku sering sirna, hingga aku suka asal melayangkan bogem mentah pada orang lain. Aku mulai tak setia terhadap hal-hal baik. Aku meninggalkan-Nya, tak pernah ingat pada-Nya. Ku acuhkan semua kegiatan baikku dulu. Menyenangkan, tapi itu sesaat.
Menjadi tak jujur membuatku kehilangan kepercayaan dari orang-orang yang dekat dengannya. Menjadi tak setia membuatku sering dikhianati orang-orang di sekitarku. Menjadi tak sabar membuat orang-orang menjadi takut padaku dan pergi meninggalkanku. Ini salah Yani. Jikalau aku tak denganmu tentu saja aku tak menjadi sebejat ini.
Hingga aku menyadari tubuhku menjadi tak berjalan sebagaimana mestinya. Sakit. Sesak nan mencekik ini buatku menggeliat. Ampun, aku tak tahan. Aku datang ke tempat pengobatan. Pemeriksaan demi pemeriksaan kujalani. Diagnosa keluar. Aku dinyatakan mengidap penyakit kanker paru-paru. Aku berjalan dengan lunglai. Membunuh raga ini sempat terpikirkan. Aku menemui Yani hingga aku melihat dia bermain api dibelakangku. Bangsat, apakah hidupku hancur untuk kedua kalinya? Mengumpat tak menyelesaikan masalah. Aku berjalan hingga tak tahu arah. Tatapanku kosong. Bagaimananya aku, aku tak tahu. Aku memandang langit biru nan cerah. Hingga tiba-tiba, gelap.
Kau tau, ketika membuka mata, air mataku jatuh. Sudah berapa lama aku tak menangis? Hatiku sakit tak terkira. Aku mendengar ayat-ayat al-qur’an di lantunkan. Sungguh, sudah berapa lama aku tak seperti. Tubuhku bergetar dengan hebat, air mata tak henti-hentinya keluar bagai mata air yang keluar dari daerah tandus. Aku mencoba terbangun, tapi tak bisa. Hingga seorang wanita tua menatapku dan melangkahkan kaki padaku. Wanita tua itu membantuku duduk. Aku tetap menangis. Wanita tua itu tersenyum dan menepuk-nepuk pelan punggungku.
Dari diriku. Si sabar, si jujur, si setia muncul dalam diri penuh dosa ini. Aku telah lupa bagaimana menjalani dengan benar kehidupan yang tuhan berikan padaku. Aku telah usai memandang cermin. Aku beralih ke jendela, menatap langit dari rumah orang-orang sakit. Tuhan, kini aku temukanmu.


(Pernah dikirim pada lomba KISMIS yang diadakan oleh Universsitas Negeri Surabaya, 2016)
 

Komentar

Posting Komentar